Kewajiban Muslim Terhadap Al-Quran
SAMPAI
saat ini, masih ada sebagian muslim yang merasa tidak beruntung memiliki kitab
suci Al-Quran. Selain karena bahasa pengantarnya berbahasa Arab, juga karena
ada isi dan kandungan Al-Quran yang kontradiktif dengan kehendak nafsunya,
seperti pembagian waris yang katanya tidak adil antara laki-laki dan perempuan,
kebolehan poligami yang disinyalir meremehkan derajat kaum hawa, atau hukum
qishash yang dianggap tidak beradab, tidak berprikemanusian dan barbarian.
Tentunya, sikap jahili seperti di
atas tidak boleh diberi ruang gerak di hati
kaum beriman. Terlalu naif
bila manusia yang diciptakan Allah dalam wujud yang sangat lemah dan pikiran
yang begitu terbatas, merasa sok pintar menentang ketentuan Allah Yang
Mahakuat dan Mahatahu. Allah menghadirkan Al-Quran ke tengah-tengah manusia
justru karena Ia menghendaki kemaslahatan bagi makhluk-Nya bila bersedia
melaksanakan isinya.
Kehidupan seorang muslim harus
terkait dan terikat dengan Al-Quranul karim agar ia selamat baik di dunia
maupun di akhirat. Pada prinsipnya ada empat kewajiban seorang muslim terhadap
Al-Quran, yaitu :
1.
Meyakini Al-Quran dengan benar
Seorang muslim wajib meyakini
sepenuh hati bahwa Al-Quran merupakan wahyu Allah yang terlepas dari intervensi
nafsu manusia dan kandungannya pasti benar. Keyakinan ini harus mantap
tertancap di sanubari tanpa ada keraguan sedikit pun, termasuk meyakini
Al-Quran sebagai kitab yang terjaga keasliannya, tidak ada tahrif
(penambahan dan pengurangan) di dalamnya. Orisinilitas Al-Quran bisa
dipertanggungjawabkan berdasarkan beberapa alasan:
Pertama,
dalil naqli QS. Al-Hijr: 9 yang berbunyi,
“Sesungguhnya Kami yang menurunkan
Al-Quran dan Kami pula yang menjaganya”. (Q.S. Al-Hijr:
9).
Ibnu Abbas menjelaskan maksud lahaafiduun, yaitu
Allah pasti menjaga Al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad ini dari
upaya penambahan, pengurangan, dan perubahan hukum yang dilakukan orang-orang
kafir dan syetan-syetan.
Kedua,
Al-Quran merupakan mukjizat,
pasti mukjizat tidak dapat ditandingi atau dipalsukan. Allah
menantang manusia untuk menandingi Al-Quran dengan tiga tantangan, yaitu
menantang manusia (termasuk jin) agar mendatangkan kitab yang semisal dengan
Al-Quran (Q.S. Al-Isra:
88). Bila tidak mampu, Allah memberikan “keringanan” kepada manusia untuk membuat sepuluh surat saja yang
semisal (Q.S. Hud: 13). Bahkan kalau manusia belum mampu (dan pasti
tidak akan mampu), Allah mempersilahkan manusia mendatangkan satu surat yang
semisal (Q.S. Al-Baqarah:
23).
Sejarah mencatat, usaha sia-sia
orang kafir dalam menyambut tantangan Allah ini, sebut saja nabi gadungan
Musailamah Al-Kadzab, ia pernah membuat satu surat yang diklaimnya sebagai
wahyu dan membacakannya pada manusia, namun karyanya itu menjadi bahan
tertawaan para gembong penyair. Hingga kini pun, upaya keras kaum kafirin
merusak Al-Quran terus berlangsung dengan hasil nihil serta mempertontonkan kelemahannya.
Ketiga,
banyak muslim yang hafal seluruh Al-Quran dan bukti-bukti otentik banyaknya mushaf-mushaf
Al-Quran di berbagai negara dari dulu sampai sekarang. Kenyataan ini
memperteguh keorisinilan Al-Quran baik huruf dan lafadnya maupun isinya.
2.
Membaca Al-Quran dengan benar
Tidak ada satu kitab pun di dunia
ini yang menegaskan secara jelas bahwa membacanya menjadi pahala kecuali
Al-Quran. Bahkan tidak ada satu keterangan pun yang menyebutkan bahwa membaca
hadits akan mendapat pahala, hanya saja kita diberi pahala dari mendapatkan
ilmunya bukan membaca huruf per huruf seperti Al-Quran. Rasulullah bersabda:
مَنْ قَرَأَ حَرْفاً مِنْ
كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ فَالحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَالاَ
أَقُوْلُ الم حَرْفٌ وَلكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَاللاَمُ حَرْفٌ وَ مِيْمٌ حَرْفٌ (رواه
البخارى)
“Barangsiapa
membaca satu huruf dari kitab Allah (Al-Quran), maka baginya satu kebaikan, dan
setiap kebaikan dilipatkan sepuluh kali. Aku tidak mengatakan bahwa alif laam
miim satu huruf, tetapi alif satu huruf, laam satu huruf dan miim satu hutuf.” (H.R. Al-Bukhari).
Dalam kesempatan yang lain
rasulullah pernah bersabda:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي
يَقْرَءُ القُرْانَ كَمَثَلِ الأُتْرُجَةِ رِيْحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَاطَيِّبٌ (رواه
البخارى)
“Perumpaan
mukmin yang membaca Al-Quran ibarat buah jeruk, harum baunya dan lezat rasanya”. (H.R. Al-Bukhari).
Oleh sebab itu, sahabat-sahabat nabi
senantiasa melewatkan malamnya dengan lantunan ayat-ayat Al-Quran. Dalam sebuah
riwayat, rasulullah pernah lewat di samping
rumah sahabat Anshar, beliau berhenti dari satu rumah ke rumah lain pada malam
gulita, beliau mendengar bacaan Al-Quran. Selanjutnya Al-Bukhari dan Muslim
meriwayatkan hadits dari Abu Musa Al-Asy'ary bahwasanya rasulullah bersabda, “Andaikan
engkau melihat aku tadi malam ketika aku mendengar bacaanmu, sungguh engkau
telah menghiasi pendengaranku dengan sebuah tiupan seruling pengikut Daud…”
Selayaknya, salah satu komitmen
seorang muslim ialah mengikuti rutinitas orang-orang shaleh dahulu yaitu membaca Al-Quran. Sayang memang, banyak
di antara kita berpendapat bahwa ibadah itu tidak hanya membaca Al-Quran, tapi
mencari nafkah, mendidik anak juga ibadah. Padahal membaca Al-Quran dengan
mencari nafkah dan mendidik anak itu merupakan dua ibadah yang terpisah, yang
kedua-duanya harus ditunaikan.
Tidak jarang sebagian kita
menghabiskan malam justru dengan kegiataan-kegiatan tidak berguna, hampir tidak
keluar dari mulut kita satu kata pun dari kalam Allah. Seandainya rasulullah
masih hidup dan berkeliling ke rumah-rumah muslim hari ini, sepertinya beliau
akan menyaksikan pemandangan yang menyedihkan, beliau akan mendapatkan sebagian
umatnya sedang terlibat dengan hiburan-hiburan malam dari seruling pengikut setan
yang mengeraskan hati saja.
3.
Mempelajari Al-Quran dengan benar
Seorang muslim, minimal harus
mengetahui perkara-perkara yang diperintahkan dan dilarang oleh Allah di dalam
Al-Quran. Tidak patut seorang muslim mengaku tidak tahu hukum makan daging
babi, makan harta riba atau meminum arak, sebab semua itu sudah terlalu jelas
keharamannya di dalam Al-Quran. Dan bagi mereka yang memiliki kemampuan, ia
bisa mencurahkan potensi dalam upaya merenungkan dan menggali isinya agar dapat
mengambil pelajaran dan petunjuk darinya, ia dapat mempelajari
disiplin–disiplin ilmu yang terkait dengan Al-Quran, seperti ilmu tafsir,
asbabun nuzul, nasikh mansukh, qira'at, dan lain-lain.
Seseorang yang mempelajari Al-Quran
akan menemukan kemukjizatan Al-Quran yang luar biasa sehingga menambah
keyakinan bahwa Al-Quran adalah wahyu bukan buatan Nabi Muhammad sebagaimana tuduhannya
orang-orang kafir. Sekedar contoh, tidak sedikit ilmuwan Barat terkagum-kagum
dan menyatakan keislamannya setelah di hadapannya terhampar sejumlah bukti
kebenaran Al-Quran yang sejalan dengan ilmu pengetahuan modern. Misalnya, Mr.
Jacques Yves Costeau, seorang ahli selam perancis yang dulu sering muncul dalam
film dokumenter bertajuk, “Discovery” tentang keindahan laut. Saat menyelam, ia menemukan
kumpulan mata air tawar yang tidak tercampur air laut yang asin seolah ada
dinding pemisah.
Ia pun bertemu dengan sahabat
muslimnya dan menceritakan kejadian itu, maka sahabatnya itu membacakan sebuah
ayat dalam Al-Quran yang berbunyi,
“Dia
membiarkan dua lautan mengalir, keduanya bertemu. Antara keduanya ada batas
yang tidak bisa ditembus”. (Q.S. Ar-Rahman: 19 – 20).
Dan banyak contoh lain lagi yang
akan membuat kita terpesona dan takjub
dengan kedalaman yang dimiliki kitab Al-Quran bila kita benar-benar
mengkajinya. Tidaklah berlebihan jika ada ulama yang menyebut Al-Quran
sebagai Kitabul khaalid 'athaaul mutajaddid, sebuah kitab permanen,
selalu memberikan sesuatu yang baru.
4.
Mengamalkan Al-Quran dengan benar
Konsekuensi logis sebagai muslim
yang meyakini kebenaran Al-Quran adalah bersedia mengamalkan seluruh
kandungannya di dalam kehidupan sehari-hari tanpa dipilah-pilah, mulai dari
yang ringan sampai yang terasa berat sekalipun, ia ridha diatur oleh
ketentuan-ketentuan yang tertera di dalam Al-Quran, baik ia sebagai individu
maupun sebagai makhluk sosial. Kita harus iri pada para sahabat dan ulama-ulama
yang telah mampu mengamalkan Al-Quran dengan baik.
Ibnu Umar meriwayatkan bahwa
rasulullah pernah bersabda,
لاَ حَسَدَ اِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ:رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ
الْقُرْآنَ فَهُوَ يَتْلُوْهُ آنَاءَ اللَيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ, وَرَجُلٌ
أَعْطَاهُ اللهُ مَالاً فَهُوَ يُنْفِقُهُ آنَاءَ اللَيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ
(رواه البخارى)
“Tidak
boleh mendengki kecuali terhadap dua hal, (yaitu) seseorang yang diberi oleh
Allah (penguasaan yang baik tentang) Al-Quran, kemudian ia membacakannya pada
pertengahan malam dan pada pertengahan siang, dan seseorang yang diberi oleh
Allah harta, kemudian ia menginfakkannya pada pertengahan malam dan pada pertengahan siang”.(HR. Al-Bukhari).
Al-Quran tidak cukup hanya diyakini,
dibaca, dan dipelajari saja. Namun mesti diamalkan. Dengan kata lain, harus ada
keseimbangan dan kerjasama yang sinergis antara ilmu yang telah dimiliki dengan
amal dan perbuatan nyata.
Ilmu yang amaliah dan amal yang ilmiah.
Al-Quran tidak bisa disamakan dengan
dokumen yang telah usang, hanya sebatas diperingati nuzulnya, atau hanya
dimusabaqahkan setiap tahun, tetapi para pembacanya dibelenggu agar menjadi
muslim parsial, yaitu seorang muslim baru ketahuan kemuslimannya saat ia
berada di mesjid dan tidak ada perbedaan yang esensial dengan nonmuslim saat ia
sedang di kantor, di pasar serta di tempat-tempat lain. Murad Wilfred Hoffman,
seorang intelektual muslim Jerman menyindir perilaku beragama seperti ini dalam
bukunya Yauma Yaati Maani Muslim, beliau berujar, “Sebagian
orang berusaha memisahkan kandungan Al-Quran, antara teks-teks yang berkaitan
dengan ushuluddin/pokok agama dan norma-norma-norma perilaku kehidupan
sehari-hari yang dipengaruhi zaman. Mereka mengatakan dengan keliru bahwa orang
hendaklah bersikap rasional dan tidak berlebihan, sehingga melupakan segi-segi
yang telah usang dalam Al-Quran dan tidak layak lagi.”
Dan di akhir
tulisan ia mengajukan pertanyaan, “Bagaimana
orang dapat merasakan kenikmatan yang diberikan Islam, jika orang tersebut
tidak menyerahkan dirinya kepada Allah secara secara total ?”
Sebuah pertanyaan retoris yang tidak butuh jawaban verbal, tapi lebih pada
tuntutan perubahan berperilaku.
Ibnu Taimiyah berkata, “Barangsiapa tidak mau membaca Al-Quran
berarti ia menghindarinya, dan barangsiapa membaca Al-Quran namun tidak
menghayati maknanya maka ia menghindarinya, barangsiapa membaca Al-Quran serta
menghayatinya, namun tidak mengamalkan isinya, maka ia pun menghindarinya”. Perkataan beliau ini didasarkan firman Allah,
“Berkatalah
rasul, 'Ya Robbi, sesungguhnya kaumku
menjadikan Al-Quran ini suatu yang diacuhkan.'”(Q.S. Al-Furqan:
30).
Al-Quran dan Dakwah
Satu hal yang tidak boleh luput dari
aktivitas seorang muslim setelah menunaikan empat kewajiban terhadap Al-Quran,
ia juga dibebani tugas untuk mengajak, menyeru, dan mengembalikan manusia agar
tunduk mengikuti Al-Quran. Isi Al-Quran perlu disosialisasikan ke seluruh
pelosok planet bumi ini sebagaimana yang telah dijalani oleh figur utama kita
Nabi Muhammad Al-Quran merupakan kitab dakwah yang memuat landasan-landasan
teoritis yang berkaitan dengan dakwah, baik berupa perintah, metode, tujuan,
karakter da'i, dan termasuk -tentunya- materi-materi dakwah. Sedangkan dakwah
sebagai manifestasi dan wujud kegiatan penyebarluasan nilai-nilai Al-Quran ke
seluruh lapisan masyarakat. Mendakwahkan Al-Quran sangatlah penting, sebab bisa
jadi ketidakmauan manusia mengimani Al-Quran bukan hanya karena mereka tidak
berfikir secara jujur dan karena ingkar walaupun tahu Al-Quran dari Allah,
sebagiannya mungkin karena jauh belum tersentuh oleh dakwah.
…
Penulis: Ustad Ramdan Priatna