Khitan dalam
Konsepsi Islam dan Medis
KHITAN berasal dari
kata bahasa Arab kha – ta – na, yang
memiliki arti memotong. Khitan hubungannya dengan alat kelamin, khususnya alat
kelamin pria yang disebut penis atau zakar. Penis memiliki saluran uretra.
Saluran uretra ini berfungsi mengeluarkan air mani (sperma) dan mengeluarkan
air kencing. Penis juga memiliki kepala penis (gland penis). Kepala penis ini dibungkus oleh selaput kepala penis
yang disebut praeputium (kuluf).
Nah, khitan untuk laki-laki berarti memotong praeputium (kuluf) sampai akhirnya kepala penis tidak terbungkus
lagi. Adapun khitan untuk perempuan
berarti memotong klitoral hood atau
disebut juga praeputium clitoridis and clitoral prepuce adalah
lipatan kulit yang mengelilingi dan melindungi clitoral
glans (batang klitoris). Namun di Indonesia, mengkhitan
perempuan tidaklah popular, bahkan dianggap ganjil.
Nabi Ibrahim
Berkhitan
Berdasarkan asal-usulnya, orang yang pertama
kali dikhitan adalah Nabi Ibrahim alahissalam.
Beliau berkhitan pada usia 80 tahun menggunakan sebuah alat bernama qadum (sejenis kapak). Sebagaimana Nabi
Muhammad shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
اخْتَتَنَ إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلَام وَهُوَ ابْنُ ثَمَانِينَ سَنَةً
بِالْقَدُّومِ
“Nabi
Ibrahim alaihissalam dikhitan saat beliau berusia delapan puluh tahun dengan
menggunakan qadum.” (H.R. Al-Bukhari)
Nabi kita pun, Nabi Muhammad berkhitan karena
diperintahkan oleh Allah untuk mengikuti millah
(ajaran) Nabi Ibrahim. Allah Azza wa Jalla
berfirman,
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) ‘Ikuti millah Ibrahim
yang lurus’. Dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”
(Q.S.
An-Nahl: 123)
Khitan
Berdasarkan Hukum Fikih
Sebenarnya, asal hukum berkhitan adalah sunnah saja. Kita tahu definisi hukum sunnah berarti “Berpahala jika dikerjakan, tidak berdosa jika ditinggalkan.” (Maa
yusaabu ‘alaa fi’lihi wa laa yu’aaqabu ‘alaa tarkihi).
Hukum khitan sejajar dengan hukum mencukur
bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku, dan mencukur kumis.
Semuanya sunnah saja. Rasulullah
bersabda,
الْفِطْرَةُ خَمْسٌ الْخِتَانُ وَالِاسْتِحْدَادُ وَنَتْفُ الْإِبْطِ وَقَصُّ
الشَّارِبِ وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ
"(Sunah) fitrah itu ada lima, yaitu; khitan, mencukur bulu
kemaluan, mencabut bulu ketiak, mencukur kumis dan memotong kuku." (H.R.
Al-Bukhari)
Namun karena khitan itu berhubungan erat
dengan ibadah shalat, yang, syarat ibadah shalat itu harus bersih dari hadats
dan najis. Cara membersihkan hadats dan najis tersebut dengan wudhu atau mandi.
Nah, wudhu atau mandi seseorang yang
tidak dikhitan belum bisa mengangkat hadats dan najis, karena air kencing tidak
keluar semua, tetapi ada yang tersisa di selaput kepala penis (praeputium). Satu-satu cara yang
efektif untuk menghilangkan hadats dan najis yang ada di selaput kepala penis
adalah berkhitan. Dengan demikian, status hukum berkhitan naik derajat dari sunnah menjadi wajib, artinya “Berpahala jika dikerjakan, dan berdosa jika
ditinggalkan.” (Maa yusaabu ‘alaa fi’lihi wa yu’aaqabu ‘alaa tarkihi).
Begitulah hukum Islam, kewajiban shalat tidak
bisa sempurna kecuali dengan berkhitan, maka hukum khitan menjadi wajib. Kaidah
ushul fikih mengatakan,
ما لا يتم
الوجوب الا به فهو واجب
“Tidak
sempurnanya sebuah kewajiban kecuali dengan hal lain, maka hal lain itu menjadi
wajib.”
Contoh
kaidah ini selain dalam khitan, misalnya mempelajari bahasa Arab. Hukum belajar
bahasa Arab tidaklah wajib. Namun bagi siapa saja yang ingin menjadi ahli
tafsir, maka wajib memahami bahasa Arab.
Khitan
Berdasarkan Medis
Sebelum seorang laki-laki dikhitan, air
kencing yang dikeluarkannya tersisa di selaput kepala penis (praeputium). Nantinya, air itu berubah
warna menjadi putih dan bau, namanya smegma,
di dalam smegma ini hiduplah virus
yang bisa mengakibatkan kanker kelamin. Jika si laki-laki yang memiliki penyakit
kanker kelamin ini berhubungan badan dengan istrinya, bisa jadi istrinya
tertular penyakit berbahaya ini yang mengakibatkan kanker rahim.
Begitu luar biasanya ajaran Islam yang tidak
pernah bertentangan dengan ilmu kedokteran. Ya pasti begitu, karena ajaran
Islam diturunkan oleh Allah Azza wa Jalla
yang menciptakan manusia itu sendiri. Mustahil Allah menurunkan syariat
yang berbahaya untuk umat-Nya. Kaidah ushul fikih mengatakan,
“Di mana
saja ada syariat Allah, maka di sana ada kemaslahatan.”
Inilah yang
harus menjadi keyakinan setiap muslim. Jangan merasa khawatir dalam menjalankan
syariat Allah. Memang dalam prakteknya, ada syariat-syariat yang bisa diketahui
hikmahnya dan ada juga syariat yang mungkin belum diketahui kemaslahatannya.
Namun kita tidaklah beribadah kepada Allah berdasarkan kemaslahatan, melainkan
karena murni menunaikan perintah Allah Azza
wa Jalla.
Khitan
Berdasarkan Aspek Seksual
Kepala penis (gland penis/kuluf) itu memiliki karakter peka, mudah linu, dan
mudah terangsang. Dengan dikhitan, kepala penis akan sering bergesekkan dengan
pakaian kita terus menerus. Sehingga, kepala penis pun menjadi kasar dan tidak
terlalu peka, tidak mudah linu, dan tidak mudah terangsang. Berarti keuntungan
berkhitan adalah mempersiapkan anak laki-laki jika nanti sudah dewasa dan
berumah tangga bisa menjadi seorang suami yang memberi kepuasan batin pada
pasangannya, karena ia tidak mudah ejakulasi.
Sepertinya
urusan ejakulasi merupakan urusan sepele. Tapi tahukan Anda, berapa banyak
rumah tangga yang harus berakhir gara-gara masalah ini? Atau, kalaupun tidak
berakhir, sang istri mencari kepuasan pada laki-laki lain yang dianggap lebih
hebat dari suaminya. Naudzu billah min
dzalik.
…
Penulis: Ustad Ramdan Priatna, S.Sos.I
(Disarikan dari berbagai sumber)
0 komentar:
Posting Komentar